Seputar Madura Sumenep, 18 Agustus 2016- Kesadaran masyarakat Kabupaten Sumenep untuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) tergolong rendah. Buktinya, Pemerintah Daerah mempunyai tunggakan sebesar Rp4,8 miliar.
Berdasarkan data dari Dinas Pengelolaan, Pendapatan, Keuangan, dan Aset (DPPKA) tunggakan tersebut merupakan akumulasi dari tahun 2014 dan tahun 2015. Tahun 2014 Pemerintah Daerah hanya bisa menarik PBB sebesar Rp2,5 miliar dari target sebesar Rp4 miliar, sehingga yang belum terbayarkan kepada pemerintah pusat sebesar Rp1,5 miliar.
Sedangkan tahun 2015 Pemerintah Daerah hanya mampu melakukan penarikan PBB sebesar Rp1,3 miliar dari total yang harus dilakukan penarikan sebesar Rp4,5 miliar. Sehingga sisa piutang sebesar Rp3,2 miliar. Sedangkan wajib pajak saat ini mencapai 760 ribu wajib pajak.
”Tunggakan itu menyebar di semua wilayah Kabupaten Sumenep, dan terbesar di Kecamatan Kota,” kata Kepala Bidang Pendapatan, DPPKA Sumenep Imam Sukandi, Kamis (18/8/2016)
Kabupaten Sumenep terdapat 27 Kecamatan, 18 Kecamatan Daratan, dan 9 Kecamatan di Kepulauan. Sedangkan jumlah penduduk saat ini mencapai lebih dari 1 juta orang.
Target PBB tahun ini sebesar Rp4,5 miliar. Hingga pertengahan Agustus 2016 yang berhasil dilakukan penarikan oleh pemerintah daerah baru sebesar Rp200 juta. Sementara jatuh tempo penarikan PBB dari wajib pajak hingga tanggal 31 Oktober 2016.
”Alhmadulillah tahun ini sudah mencapai 200 juta. Kalau tahun-tahun sebelumnya hingga Agustus belum ada yang masuk pada kami,” jelasnya.
Menurutnya, salah satu faktor penyebab rendahnya pendapatan PBB, masyarakat beranggapan bahwa membayar pajak itu gratis. Padahal, lanjut Imam, pihaknya setiap tahun harus mengeluarkan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) sebagai bukti bahwa PBB tidak gratis.
”Sejak munculnya isu PBB gratis itu, masyarakat enggan membayar pajak,” ungkap Imam.
Lebih lanjut Imam mengatakan, PBB yang harus ditanggung oleh wajib pjak dinilai sangat kecil dibandingkan dengan penghasilan yang didapat. Sesuai nilai obyek pajak (NJOP) di Sumenep masih ada yang wajib pajak yang nilainya Rp8-9 ribu.
”Sudah 17 tahun NJOP di Sumenep tidak ada perubahan. Makanya sangat murah dibandingkan dengan daerah lain, seperi DKI, Surabaya, Gersik dan Sidoarjo,” katanya.
Oleh sebab itu, kedepan pihaknya akan melakukukan sosialisasi ketingkat desa. Itu dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat di Sumenep untuk membayar pajak. Selain itu, juga untuk merangsang masyarakat agar membayar PBB sesuai dengan deadline waktu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Penarikan pajak tersebut bisa dilakukan oleh camat sebagai fasilitator, dan kepala desa sebagai eksekuor di bawah. Dari jumlah pajak yang dibayar sebesar lima peren akan dikembalikan kepada desa.
Selain itu, jika desa lebih awal melunasi pajak bumi dan bangunan, Pemerintah Daerah berjanji akan memberikan riwet berupa pengharagaan. ”Kalau pelunasannya lebih awal, pasti kami beri reword,” tegasnya.
Terpisah Anggota Komisi II DRPD Sumenep, Juhari mengatakan, belum tercapainya perelohan PBB setiap tahun menunjukkan kinerja instansi lemah sehingga perlu mendapat perhatian serius dari bupati Sumenep.
Juhari politisi PPP ini mendesak instansi terkait melakukan gerakan agar masyarakat tertib membayar pajak. ”Lakukan sosialisasi tentang bayar pajak,” katanya.
Menurutnya, PBB merupakan amanah UU Nomor 28 tahun 2009 Tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Adapun jenis pajak yang berdasakan UU tersebut dibagi mejadi sebelas item, yakni Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Legislator dua periode itu mengatakan, rendahnya minat masyarakat untuk membayar pajak itu setelah adanya isu PBB gratis beberapa tahun lalu. ”Kalau gratis, tentu menyalahi aturan. Dan tidak mungkin PBB itu gratis,” tegasnya. (Jd)