Seputar Madura, Sumenep, Senin 14 November 2016- Untuk kesekian kalinya aksi penganiayaan terhadap jurnalis terjadi. Kali ini menimpa empat jurnalis di Kota Surabaya oleh anggota kepolisian setempat saat meliput kericuhan dalam konvoi suporter Persebaya, Bonekmania pada Kamis (10/11/2016) malam.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumenep, Madura, Jawa Timur, geram dengan tindakan main hakim sendiri oleh aparat penegak hukum.
“Kenapa aparat penegak hukum harus melakukan kekerasan kepada jurnalis. Kita ini bekerja juga dilindungi oleh Undang Undang pers, ” kata Ketua PWI Sumenep, Moh. Rifai, Senin (14/11/2016).
Empat jurnalis di Surabaya yang mengalami kekerasan yakni Sholihul Hadi (RTV), Dida (Jawa Pos), Andrian (merdeka.com), dan Boncel (SBOTV). Mereka sempat ditendang, dipukul dan dipentung oleh aparat saat meliput kericuhan dalam konvoi suporter Bonek.
“Yang memilukan, kekerasan itu juga disertai perampasan kamera, memory card dan dihapusnya file di kamera,” paparnya.
Ia mengaku sangat mengecam tindakan brutal aparat berseragam coklat ini. Padahal ditingkat daerah, polisi selalu berupaya bekerjasama dengan awak media guna menciptakan situasi kondusif. Namun, dengan kejadian kekerasan ini justru dapat merusak hubungan tersebut.
“Saatnya polisi belajar tentang kebebasan pers dan berpendapat. Jangan menjadi penghalang jurnalis saat melakukan peliputan dilapangan, ” paparnya.
Menurutnya, kekerasan jurnalis ini sudah masuk garis merah. Sebab kasus yang sana sebelumnya juga terjadi di Bangkalan, Jatim pada Selasa (20/9). Salah seorang jurnalis Radar Madura (Jawa Pos Group) Ghinan mengalami pengeroyokan usai memotret beberapa PNS Dinas PU Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bangkalan yang bermain tenis meja pada jam kerja.
“Kasus yang dialami jurnalis, menjadi cermin bahwa musuh kebebasan pers adalah aparat negara. Untuk itu, kami meminta Dewan Pers turun ke Jawa Timur untuk melihat langsung bahwa ancaman kepada jurnalis sangatlah tinggi,” pungkasnya. (Nita)