Seputarmadura.com, Sumenep, Kamis 16 September 2021- Kasus dugaan penipuan CPNS dengan terlapor berinisial RM, istri pimpinan DPRD Sumenep, Madura, Jawa Timur, sudah satu tahun lebih, ngendon di Polres setempat.
Kasus tersebut dilaporan JM, warga Kecamatan Ambunten ke Polres Sumenep, pada 24 Agustus 2020, dengan dasar bukti lapor LP-B/195/VIII/RES.1.11/2020/RESKRIM.SPKT Polres Sumenep. Dugaan penipuan itu terjadi lantaran korban sudah menyetor sejumlah uang kepada terlapor untuk menjadi CPNS.
Namun, hingga awal September 2021, Polres Sumenep tidak kunjung menetapkan tersangka dalam kasus dugaan penipuan CPNS tersebut.
“Untuk kasus ini (dugaan penipuan CPNS, red) memang belum ada tersangkanya. Karena masih penyelidikan,” ujar Kasubag Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti.
Ia memaparkan, bukti-bukti seperti keterangan beberapa saksi termasuk korban sudah dikantongi oleh tim penyidik Polres Sumenep.
“Secepatnya kita gelar perkara untuk menaikkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan,” paparnya.
Widiarti juga menegaskan, penetapan tersangka baru bisa dilakukan ketika sudah penyidikan.
“Sabar ya. Kita tunggu hasil gelar perkara kasus ini,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, kasus dugaan tindak pidana penipuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Sumenep dilaporan oleh JM, Warga Ambunten ke Polres Sumenep.
Dugaan tindak penipuan CPNS 2013 lalu itu, korban mengaku diiming-imingi menjadi abdi negara oleh RM (istri ketua DPRD Sumenep), warga Desa Matanair, Kecamatan Rubaru.
RM dilaporkan JM, Warga Ambunten ke Polres Sumenep, pada 24 Agustus 2020 lalu. Dengan dasar bukti lapor LP-B/195/VIII/RES.1.11/2020/RESRKRIM.SPKT Polres Sumenep. Dugaan penipuan itu terjadi lantaran korban juga sudah menyetor sejumlah uang kepada terlapor.
Dalam laporannya, dugaan penipuan itu berawal saat korban berkeinginan menjadi pegawai negeri. Korban yang tengah mencari jalan untuk bisa lolos, bertanya kepada temannya FAT dan diarahkan ke terlapor, RM. Akhirnya, korban langsung mendatangi terlapor dan menjalin komunikasi.
Sehingga, setelah itu akhirnya terlapor mengaku bisa meloloskan menjadi CPNS. Tentunya, dengan membayar uang sebesar Rp 60 juta, itu dibayar lunas ketika sudah ada SK (Surat Keputusan).
Dalam perjanjian, korban ini tetap harus membayar uang muka atau DP (down payment). Maka, korban menjadi tertarik, dan kemudian menyerahkan uang sebesar Rp 40 juta. Sementara sisanya akan dibayar setelah lolos dan SK keluar.
Beberapa bulan berikutnya, terlapor meyakinkan korban dengan menyatakan SK sudah ada, dan meminta untuk dijemput di rumahnya. Sayangnya, SK tersebut disinyalir palsu, karena korban tetap tidak diangkat sebagai ASN. (Nt)