Seputarmadura.com, Sumenep, Selasa 19 Desember 2017- Pada musim penghujan tahun 2017, petani di Sumenep, Madura, Jawa Timur, kelimpungan. Keberadaan kartu tani yang mestinya memberikan kemudahan tapi justru membuat petani dikawasan setempat menjerit. Sebab sebagian besar petani kian kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi di musim tanam ini.
Sahran, salah satu petani kepada media ini mengatakan, sejak diberlakukan kartu tani, dirinya mengaku kesulitan mendapatkan pupuk. Sebab, kuota yang diberikan tidak sesuai dengan luas lahan yang dimiliki.
“Kita dipersulit dengan kartu tani ini. Jatah kami tidak sesuai dengan kuota lahan yang kami miliki. Terus kekurangannya kita dapat dari mana, tentu kami kebingungan,” tukasnya, Selasa (19/12/2017).
Ia menegaskan, penerbitan kartu tani tidak sesuai harapan petani, karena untuk mendapatkan pupuk dari kios lain tentu saja tidak bisa dengan adanya kartu tani ini.
“Ada batasan. Tidak bisa beli di kios lain. Kalau dulu sebelum ada kartu, kami masih bisa beli pupuk di mana saja. Ini jelas membuat petani resah dan bingung,” tegasnya.
Menyikapi hal itu, Kabid Sarpras Dinas Pertanian Tanaman Pangan Holtikultura, dan Perkebunan (Dispertahortbun) Kabupaten Sumenep, Arif Firmanto mengungkapkan, masalah pupuk ini bukan karena soal kartu tani. Namun jatah untuk provinsi berkurang sehingga kabupaten juga berkurang.
“Saat ini kami ada pengurangan 1.518 ton untuk ZA, 471 ton untuk pupuk SP 36, otomatis kecamatan juga berkurang,” ujarnya.
Sebenarnya, sambung dia, pihaknya sudah mengajukan sesuai dengan luas lahan petani yang tergabung di kelompok. Namun, realisasinya tidak sama dengan usulan karena berkaitan dengan anggaran. “Ini berkaitan dengan anggaran,” paparnya.
Menurut Arif Firmato, soal pupuk juga sudah disediakan non subsidi. Pupuk non-subsidi itu tidak wajib dijual di kios sesuai dengan kemampuan, melainkan yang ada di Distributor.
“Kalau petani kurang, silahkan beli ke distributor. Ada kok pupuk non-subsidi,” tandasnya dengan nada tinggi.
Dia mengungkapkan, sekarang membeli pupuk sesuai dengan kuota yang ditentukan. “Nah, kalau dulu dibilang bebas, justru itu yang salah,” pungkasnya. (Nit)