Cuaca Panas Dibawah Standart, Petani Garam Pamekasan Enggan Berproduksi

oleh -436 views
Cuaca Panas Dibawah Standart Petani Garam Pamekasan Enggan Berproduksi
Doc. Produksi Garam saat cuaca panas normal

Seputarmadura.com, Pamekasan, Kamis 11 Mei 2017- Akibat cuaca panas tidak stabil selama 2 tahun terakhir, menyebabkan sejumlah lahan tambak garam di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, dibiarkan kosong dan dipastikan gagal berproduksi karena petambak atau petani garam di kota ini, enggan merugi jika tetap memaksakan berproduksi.

Dampaknya, terang Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Pemkab Pamekasan, Nurul Widiastuti, hasil produksi petani garam otomatis menurun drastis dari kisaran 123 ribu ton garam pertahun, selama 2 tahun terakhir ini, petani garam di Pamekasan harus puas hanya dengan hasil sekitar 3 ribu ton pertahun.

“Usaha garam ini memang sejak 2 tahun kemarin menurun. Itu faktor lanina yang membuat produksi garam rendah dan target kinerja kita tidak tercapai tapi kan ada penjelasannya, yakni karena faktor cuaca, kalau yang kemarin itu kita cuma dapat 3 ribu ton, seharusnya pada tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai 123 ribu ton,” jelasnya, Kamis (11/5/2017).

Tidak stabilnya cuaca ini, menimbulkan efek domino, dari minimnya produksi garam petani, harga garam petani justru mengalami lonjakan tajam dari Rp 600 atau Rp 650 per kilogram menjadi Rp 2.000 per kilogram.

“Memang harganya jadi mahal karena memang tidak ada garam, sampai ada yang sekilo 2 ribu tapi garamnya tidak ada, kalau yang normal musim panen tahun 2015 itu KP1 antara Rp 600 – Rp 650, sudah lumayan bagus dari sisi harga,” tambah Nurul Widiastuti.

Jika mengacu pada prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), petambak garam di Madura khususnya di wilayah Pamekasan, seharusnya baru bisa memulai produksi garamnya pada akhir bulan Mei atau awal bulan Juni mendatang.

Kendati demikian, tegas Nurul Widiastuti, masih ada petambak yang tetap mengolah lahannya meskipun jumlahnya sangat kecil, sedangkan petambak besar biasanya cenderung menunggu hingga cuaca benar-benar stabil.

“Bagi pemilik sekaligus penggarap mungkin tidak seberapa karena bisa menangani sendiri dan kecil-kecil, tapi kalau lahan yang besar-besar terus penggarapnya dari Sumenep, itu biasanya menunggu cuaca benar-benar meyakinkan para petani bahwa garamnya bisa dipanen secara normal,” pungkasnya. (Dre/Nita)